WANUA : Jurnal Hubungan Internasional http://118754.2bdvi7ajx.asia/index.php/wanua WANUA : Jurnal Hubungan Internasional Departemen Ilmu Hubungan Internasional Univesitas Hasanuddin en-US WANUA : Jurnal Hubungan Internasional 2443-1346 ASEAN PRINCIPLE: DILEMMA AND NECESSITY http://118754.2bdvi7ajx.asia/index.php/wanua/article/view/14091 <p><em>The purpose of this study is to explain how ASEAN solved problems in stabilizing their territory. As we know the formation of ASEAN as a regional organization of Southeast Asia is to liberate countries in Southeast Asia from the influence of The Great Powers. This is in line with the realism that </em><em>deeply bound</em><em> within ASEAN. Ahead of the 15th anniversary of the formation of ASEAN, there was a major conflict between Vietnam and Cambodia, precisely in the 1970s. This is one of the catalysts that destabilize the ASEAN’</em><em>s stances</em><em> to avoid various types of multilateral relations. The method used in this research is qualitative with </em><em>historical</em><em> analysis from various literatures. After successfully resolving the conflict, in 1994 ASEAN established ARF as a workplace to discuss security in Asia, in order to facilitate such conflicts to occur again. ARF members are not only ASEAN countries but also superpowers. This is contrary to the foundation of ASEAN itself. In essence it shows that realism is willing to subdue with liberalism.</em></p> <p>&nbsp;</p> <p>Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menjelaskan bagaimana ASEAN memecahkan masalah dalam menstabilkan wilayah mereka. Seperti kita ketahui terbentuknya ASEAN sebagai organisasi regional Asia Tenggara adalah untuk membebaskan negara-negara di Asia Tenggara dari pengaruh <em>The Great Powers</em>. Hal ini sejalan dengan realisme yang begitu dalam terikat di dalam fondasi ASEAN. Jelang 15 tahun terbentuknya ASEAN, terjadi sebuah konflik besar antara Vietnam dan Kamboja, tepatnya tahun 1970-an. Tampaknya konflik ini merupakan salah satu katalisator yang menggoyahkanpendirian ASEAN untuk menghindari berbagai jenis hubungan multilateral. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif dengan analisis historis dari berbagai literatur. Setelah berhasil menyelesaikan konflik tersebut, pada tahun 1994 ASEAN membentuk ARF sebagai kerangka kerja untuk membahas keamanan di Asia, guna mencegah konflik seperti itu terjadi lagi. Anggota ARF bukan hanya negara ASEAN tapi juga negara adikuasa. Hal ini bertolak belakang dengan dasar pendirian ASEAN itu sendiri. Pada intinya hal ini menunjukkan bahwa realisme seakan takluk dengan liberalisme.</p> Arindra Ahmad Fauzan Copyright (c) 2021 WANUA : Jurnal Hubungan Internasional http://creativecommons.org/licenses/by-nc-sa/4.0 2021-06-11 2021-06-11 6 1 1 12 PENGARUH KEBIJAKAN PENGUNGSI UNI EROPA TERHADAP PERKEMBANGAN GERAKAN EUROSCEPTIC DI EROPA http://118754.2bdvi7ajx.asia/index.php/wanua/article/view/14092 <p><em>This paper would be focused on the analysis of the influence of the refugee policies which implemented in the European Union member states so that generates the rising of Eurosceptic movement as the result, especially in Germany, United Kingdon and Hungary. The method used in this paper is descriptive qualitative with the data collected by library research. </em><em>Humanitarian crisis that happened in the Middle East and North Africa creates massive refugees wave since 2011. Europe as one of the most prosperous region with its economy stability deemed as the ideal destination for these refugees. The European refugee crisis reached its peak in 2015 when millions of people made it to stepping on the European border. Common European Asylum System which supposed to be the guideline for EU’s member states for their refugee policy, apparently, creates difference responses on the domestic level. The openness of the policy considered as burden for countries. This circumstance being used by European right-wing populist parties, particularly in Germany, United Kingdom and Hungary, to attracts more sympathizer and support. As the result, the trend arises where the Europeans tend to oppose the existence of refugees which can be seen by the increasing number of criminalization and discrimination against refugee, as well as the growing popularity of European right-wing populist parties. These proves the spreading of Euroscepticism over European countries and the threat of EU integration.</em></p> <p>&nbsp;</p> <p>Penelitian ini difokuskan kepada analisis pengaruh kebijakan pengungsi yang diterapkan Uni Eropa di negara-negara anggotanya sehingga menimbulkan respon berupa perkembangan gerakan <em>Eurosceptic</em> di wilayah Eropa, terutama Jerman, Inggris dan juga Hongaria. Metode yang digunakan dalam penyusunan tulisan ini adalah kualitatif deskriptif dari data-data ilmiah yang dikumpulkan melalui cara <em>library research</em>. Krisis kemanusiaan yang terjadi di wilayah Timur Tengah dan Afrika Utara menimbulkan gelombang pengungsi besar-besaran sejak tahun 2011. Eropa sebagai wilayah yang makmur dan tingkat stabilitas ekonomi yang tinggi dianggap menjadi destinasi ideal bagi para pengungsi. Gelombang pengungsi terbesar pun terjadi di Eropa dan memuncak di tahun 2015 ketika jutaan orang masuk ke perbatasan Eropa. <em>Common European Asylum System</em> yang seharusnya menjadi pedoman utama negara-negara anggota Uni Eropa dalam mengambil kebijakan pengungsi nampaknya menimbulkan respon yang berbeda-beda di tingkat domestik. Kebijakan yang terlalu terbuka terhadap para pengunggsi dianggap menjadi beban lebih bagi institusi negara. Kondisi seperti ini dijadikan umpan oleh partai-partai populis berhaluan sayap kanan Eropa, terutama di Jerman, Inggris dan Hongaria untuk mendapatkan dukungan dan simpatisan masyarakat Eropa. Hasilnya, timbul kecenderungan dimana masyarakat Eropa mulai menentang kehadiran para pengungsi yang terlihat dari meningkatnya tindak kriminalisasi dan diskriminasi terhadap pengungsi, serta meningkatnya popularitas partai-partai populis berhaluan sayap kanan di Eropa. Hal tersebut menjadi bukti penyebaran pemikiran <em>Euroscepticism</em> dan merupakan ancaman bagi integrasi Uni Eropa.</p> Chandra Satria Setiabudi Copyright (c) 2021 WANUA : Jurnal Hubungan Internasional http://creativecommons.org/licenses/by-nc-sa/4.0 2021-06-11 2021-06-11 6 1 13 35 ANOMALI FENOMENA POPULISME DI BELANDA http://118754.2bdvi7ajx.asia/index.php/wanua/article/view/14093 <p><em>Populism is commonly defined as a spesific form of political rethoric, which consider that the prominence as well as legitimacy of politic is depend on the societies altogether. Foreseeing the dominant elit entities as corrupt and stating that the aim of politic would be best acquired through the direct connection between government and the societies. Currently, the issue of populism has already become something which is immensely discussed in many countries and transcripted within many scientific journals. </em><em>The form of populism which is currently spreadly used is a populism as the concept of political behavior where several world’s politician attemp to construct people’s mind to perceive that the best circumstances which is being offered and glorified by the authority as something good, more spesificaly globalisation by the case, is otherwise possess too much disadvantage which is enormously potential to harm lots of actors. Many newly-elected president in several superpower countries was coming from political party which is in line with idea of populism. However, still there are several states which haven’t succeeded yet which regardless their utilizing of populism, yet they lose. This circumstances is then recognized as anomaly of populism.</em></p> <p>&nbsp;</p> <p>Populisme diartikan sebagai suatu bentuk khas retorika politik, yang menganggap keutamaan dan keabsahan politik terletak pada rakyat, memandang kelompok elit yang dominan sebagai korup, dan bahwa sasaran-sasaran politik akan dicapai paling baik melalui cara hubungan langsung antara pemerintah dan rakyat, tanpa perantaraan lembaga-lembaga yang ada. Saat ini, isu populisme telah menjadi sesuatu yang sangat banyak dibahas di berbagai negara dan telah diangkat dalam berbagai tulisan ilmiah. Bentuk populisme yang saat ini banyak digunakan ialah bentuk populisme sebagai gaya politik, dimana beberapa politisi dunia&nbsp; berupaya untuk mengkonstruksi pikiran masyarakat untuk menganggap bahwa kondisi yang dianggap baik oleh pihak-pihak otoritas, dalam hal ini globalisasi, merupakan sesuatu yang justru memiliki banyak sekali kekurangan yang saat ini sangat berpotensi untuk merugikan banyak pihak. Banyak presiden-presiden yang baru terangkat di beberapa negara-negara besar di dunia saat ini berasal dari partai politik yang menganut paham populisme. Namun, pada faktanya masih ada beberapa negara yang sekalipun menggunakan ajaran populisme tapi belum dapat memenangkan pemilihan presiden, kondisi inilah yang kemudian dikenal sebagai fenomena anomali populisme.</p> Khatibul Umam Muhammad Ryanto Muhammad Uznul Fajrin Achmad Fachrozy Day Copyright (c) 2021 WANUA : Jurnal Hubungan Internasional http://creativecommons.org/licenses/by-nc-sa/4.0 2021-06-11 2021-06-11 6 1 36 46 DINAMIKA HUBUNGAN INTEGRASI EKONOMI TERHADAP NEGARA KESEJAHTERAAN DI EROPA STUDI KASUS: NORWEGIA http://118754.2bdvi7ajx.asia/index.php/wanua/article/view/14094 <p><em>This </em><em>article</em><em> aim</em><em>s</em><em> to discern the implementation economic integration in the Welfare State, particularly in Norway. This research also head to analyze the ramifications and consequences of economic integration implementation in Norway. This thesis exercises the analytical-descriptive method of research. The descriptive method engaged to describe the implementation of EFTA rules within Norway and analyze it’s consequences. This research utilize various datum from literature, books, official document, and news and report from various media. </em><em>Influence of free trade actually have differences in contrast with the applied welfare state system by Norway. Free trade is based on the country that is not overly intervene in the market policy, incompatible with the welfare state system that indicate the orientation of a strong government in regulating the distribution of welfare. On the other hand, this pattern has been running and ensure equitable distribution of wealth throughout the population for years. EFTA dwell on the influence of trade tariffs, taxation and bureaucratic procedures of foreign companies as well as large market competition, making their conflicts of interest and policy with the Norwegian government.</em></p> <p>&nbsp;</p> <p>Penulisan artikel ini bertujuan untuk memahami bagaimana proses integrasi ekonomi yang terjadi terhadap negara yang menerapkan sistem Negara Kesejahteraan, serta pengaruhnya terhadap sistem ini sendiri. Dalam kasus ini, integrasi ekonomi yang dimaksud adalah <em>EFTA (European Free Trade Area)</em>, yang merupakan satu-satunya integrasi ekonomi yang diterapkan di Norwegia. Disamping itu juga menjelaskan karakteristik negara kesejahteraan dalam melaksanakan sistem ekonomi politiknya. Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan metode penelitian deskriptif-analisis dengan EFTA dan Norwegia sebagai studi kasus. Metode penelitian deskriptif digunakan untuk menggambarkan bagaimana implementasi aturan EFTA di Norwegia dan kemudian menganalisis bagaimana dampak dari implementasi&nbsp; aturan tersebut terhadap kebijakan yang dilakukan Norwegia sebagai Negara Kesejahteraan. Penelitian ini menggunakan data-data berupa kepustakaan, dokumen-dokumen resmi, dan berita dari media. Pengaruh perdagangan bebas sebenarnya memiliki perbedaan kontras dengan sistem negara kesejahteraan yang diterapkan oleh Norwegia. Perdagangan bebas yang berdasar pada negara yang tidak terlalu turut campur tangan dalam kebijakan pasar, tidak sesuai dengan sistem negara kesejahteraan ini yang mengindikasikan adanya orientasi pemerintah yang kuat dalam mengatur distribusi kesejahteraannya. Namun disisi lain, pola ini telah berjalan dan memastikan distribusi kesejahteraan merata keseluruh penduduk selama bertahun-tahun. Pengaruh EFTA berkutat pada tarif perdagangan, pajak dan birokrasi perusahaan asing serta persaingan pasar yang besar, menjadikan adanya tarik-menarik kepentingan dan kebijakan dengan pemerintah Norwegia.</p> Ridho Wirawan Copyright (c) 2021 WANUA : Jurnal Hubungan Internasional http://creativecommons.org/licenses/by-nc-sa/4.0 2021-06-11 2021-06-11 6 1 47 72